Ketika seseorang jatuh sakit secara fisik, perhatian medis sering kali langsung tertuju pada gejala yang terlihat dan dapat diukur. Namun, di balik penyakit fisik tersebut, seringkali terdapat Kesehatan Mental yang ikut terganggu, seperti kecemasan atau depresi. Ironisnya, aspek psikologis ini kerap luput dari penanganan medis yang komprehensif, menciptakan Kesenjangan Perawatan yang signifikan dalam sistem layanan kesehatan.
Salah satu alasan utama terabaikannya kondisi kejiwaan pasien adalah sistem perawatan kesehatan yang masih berorientasi pada penyakit fisik. Fokus yang berlebihan pada biomarker fisik membuat profesional medis kurang terlatih atau kurang memiliki waktu untuk menggali kedalaman dampak emosional penyakit kronis pada pasien, sehingga hanya mengatasi permukaan masalah.
Stigma Sosial yang masih melekat kuat terhadap isu kejiwaan turut memperburuk keadaan ini. Banyak pasien merasa enggan atau malu untuk mengungkapkan pergumulan emosional mereka kepada dokter atau keluarga, takut dianggap mengada-ada atau menjadi beban tambahan yang tidak perlu. Stigma ini mendorong penderitaan batin tersembunyi.
Keterbatasan sumber daya juga menjadi kendala. Mengintegrasikan layanan psikologis ke dalam perawatan fisik memerlukan lebih banyak waktu, tenaga spesialis, dan kolaborasi antar-departemen. Banyak fasilitas kesehatan belum memiliki struktur yang memadai untuk menjembatani kedua bidang perawatan ini secara efektif dan efisien.
Padahal, hubungan antara tubuh dan pikiran sangat erat. Kondisi Kesehatan Mental yang buruk dapat memperlambat pemulihan fisik, meningkatkan persepsi nyeri, dan menurunkan kepatuhan pasien terhadap rejimen pengobatan yang telah ditetapkan. Mengabaikan pikiran sama artinya memperpanjang penderitaan fisik dan emosional pasien.
Untuk mengatasi Kesenjangan Perawatan ini, edukasi bagi tenaga kesehatan harus ditingkatkan. Kurikulum medis perlu memasukkan pelatihan intensif mengenai skrining dini gangguan psikologis pada pasien, memastikan bahwa setiap keluhan fisik juga diiringi dengan evaluasi kesejahteraan emosional yang cermat dan berempati.
Menerapkan model Perawatan Terintegrasi adalah solusi kunci. Model ini menempatkan profesional kesehatan mental (seperti psikolog klinis atau psikiater) langsung di klinik rawat jalan atau bangsal rumah sakit. Kolaborasi tim multidisiplin ini menjamin bahwa baik fisik maupun aspek mental mendapat perhatian simultan dan terpadu.
Pada akhirnya, perubahan paradigma diperlukan: melihat pasien secara holistik. Kesehatan Mental bukanlah tambahan opsional, melainkan komponen fundamental dari kesehatan secara keseluruhan. Hanya dengan mengutamakan keseimbangan ini dan menghilangkan Stigma Sosial, kita dapat memenuhi janji pelayanan kesehatan yang prima.