Lulusan Dokter Menganggur? Mengapa Jumlah Lulusan Tak Sebanding Kebutuhan?

Fenomena lulusan dokter menganggur terdengar paradoks di negara yang masih kekurangan tenaga medis. Di satu sisi, banyak daerah pelosok yang memerlukan dokter, di sisi lain, ribuan dokter baru kesulitan mendapatkan pekerjaan. Ada ketidakseimbangan antara jumlah lulusan dan ketersediaan lapangan kerja yang relevan.

Salah satu penyebabnya adalah sebaran dokter yang tidak merata. Mayoritas memilih bekerja di kota-kota besar. Mereka enggan ditempatkan di daerah terpencil karena kurangnya fasilitas, upah rendah, dan akses yang sulit. Hal ini membuat menumpuknya dokter di kota, sementara daerah lain kekurangan.

Ketidaksesuaian kompetensi juga menjadi masalah. Kurikulum pendidikan kedokteran seringkali tidak selaras dengan kebutuhan di lapangan. Lulusan dokter baru mungkin kurang memiliki keterampilan khusus yang dibutuhkan di beberapa daerah, misalnya dalam penanganan penyakit tropis atau kasus gizi buruk.

Kurangnya formasi pegawai negeri sipil (PNS) juga menjadi hambatan. Pemerintah tidak membuka banyak lowongan untuk dokter. Meskipun ada program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), kuotanya masih terbatas. Kondisi ini membuat lulusan dokter harus bersaing ketat untuk posisi yang sedikit.

Selain itu, biaya pendidikan kedokteran yang mahal juga memengaruhi. Banyak lulusan dokter terbebani utang pendidikan. Mereka harus segera mencari pekerjaan dengan upah tinggi. Hal ini membuat mereka lebih memilih bekerja di klinik swasta di kota besar.

Regulasi yang rumit juga menjadi masalah. Proses pengurusan surat izin praktik (SIP) seringkali memakan waktu lama. Hal ini menunda mereka untuk bisa bekerja. Birokrasi yang berbelit-belit membuat banyak lulusan dokter merasa frustrasi.

Untuk mengatasi ini, pemerintah harus mengambil langkah tegas. Kebijakan distribusi dokter harus diperbaiki. Pemerintah harus memberikan insentif yang menarik bagi lulusan dokter yang mau ditempatkan di daerah terpencil. Dengan begitu, sebaran dokter bisa lebih merata.

Kurikulum pendidikan juga harus dievaluasi. Fakultas kedokteran perlu menyesuaikan kurikulumnya dengan kebutuhan di lapangan. Mereka harus melengkapi mahasiswa dengan keterampilan yang relevan. Ini akan membuat mereka lebih siap kerja.

Kolaborasi antara pemerintah, kementerian kesehatan, dan fakultas kedokteran sangat penting. Bersama-sama, mereka bisa mencari solusi untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Dengan begitu, tidak ada lagi lulusan dokter yang menganggur di tengah kebutuhan yang mendesak.